Title : Miss You
Author : Me
Cast :
Lee Tae-sung (Actor), Choi Jinri (f(x))
Length : Oneshoot
Genre : Romance
Rating : General
Author’s note :
Ada yang kenal siapa itu Lee
Tae-sung? Ya, dia adalah pemeran Bong Joon Go dalam drama “Playfull Kiss”.
Selain itu Oppa satu ini juga bermain dalam drama “Rooftop Prince”, lho. ^_^
Dan dia adalah salah satu aktor favorit Author, he-he. Okay, no longer time to wait, selamat
membaca~~~ (Author mohon maaf jika banyak typo bertebaran, he-he, juga minta maaf kalau ceritanya agak-agak no feel. Terima kasih
sudah menyempatkan membaca ^_^)
***
“Idiot, that’s
not true!
You still don’t
understand me?
Your love only
belongs to me
Please, don’t
leave me”
Lee Tae-sung menekan sejumlah angka pada telepon. Ia
berharap seseorang di ujung sana akan mengangkat panggilannya. Hawa dingin di
luar boks telepon umum memaksa ingin masuk. Tae-sung merapatkan mantel tebalnya
sembari terus berharap usahanya kali ini tidak akan sia-sia.
“Yeoboseyo?”
panggil seseorang.
Tae-sung seakan tak percaya saat bisa mendengar
kembali suara yang amat ia rindukan selama dua minggu ini. Ya, itu suara
gadisnya.
“Choi Jinri?” panggil Tae-sung. Suaranya serak
menahan gejolak rindu yang meluap-luap dalam dirinya sekarang.
“Ne, ini
siapa?”
“Ini aku, Tae-sung.” Jawab Tae-sung lirih.
Ia bisa merasakan keheningan yang tiba-tiba datang
menyergap. Tae-sung meletakkan kembali gagang telepon dengan perasaan kecewa.
Pasti Jinri tidak akan mau berbicara dengannya. Tae-sung jatuh terduduk,
menekuk lututnya, dan menundukkan kepala. Matanya berat menahan kantuk yang
sudah datang menderanya sedari tadi.
Apa yang sedang
gadis itu pikirkan? Batin Tae-sung. Ia menengadahkan kepalanya, menatap
jutaan bintang yang bertabur cantik di atas langit kota Seoul. Ia teringat
dengan rasi bintang Jinri. Tae-sung mengangkat sebelah tangannya ke udara dan
menarik garis, menghubungkan tiap titik menjadi rasi bintang milik Jinri. Ya,
rasi bintang berbentuk cinta.
***
Salju musim dingin jatuh berguguran menutupi sebagian
halaman flat bertingkat tiga itu. Cat dindingnya mulai mengelupas pada beberapa
sudut. Sebuah jendela di lantai dua terbuka, seakan tidak takut dengan
dinginnya angin yang bertiup cukup kencang.
Choi Jinri meletakkan kantung belanjanya pada meja
dapur. Ia melepas topi dan mantelnya, menggantungkannya begitu saja pada
lemari. Ia berjalan menuju jendela dan menutupnya perlahan. Sial, kenapa aku bisa lupa menutupnya?
Jinri mengumpat kecil sambil terus menggosokkan kedua tangannya. Hawa dingin
yang menusuk sampai tulangnya membuat dia kedinginan. Ia memakai sandal dalam
ruangan favoritnya, berwarna merah muda dan berbentuk kelinci.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alunan lembut Violin Double Concerto dari Johann
Sebastian Bach memaksanya untuk segera menjawab panggilan itu. Jinri berlari
kecil menuju meja di samping kasurnya dan melihat nama pemanggil pada layar
ponselnya. Unknown caller.
“Yeoboseyo?”
Gadis itu mengerutkan dahinya. Ia tidak mendengar suara apapun selain hening.
Ia berniat untuk mematikan ponselnya ketika…
“Choi Jinri?” panggil seseorang. Jinri mendekatkan
kembali ponselnya pada telinga kanan. Gadis itu duduk di pinggir kasur
mungilnya.
“Ne, ini
siapa?” Tanya Jinri semakin penasaran.
“Ini aku, Tae-sung.” Jawab suara itu lirih.
Dada Jinri seperti ditusuk sebuah pisau. Sakit dan
perih. Ia sempat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tae-sung? Lee Tae-sung? Bibirnya terus menggumamkan nama itu tanpa suara.
Kenapa pria itu muncul di saat yang amat tidak tepat? Jinri menjatuhkan
ponselnya ke atas lantai yang keras, membiarkan air matanya mengalir menuruni
pipi.
Di benaknya terus bergulir sebuah bayangan. Sebuah
adegan menyeramkan yang baginya lebih buruk dari mimpi buruk sekalipun.
***
Flashback. Satu bulan yang lalu.
Choi Jinri
menggamit erat lengan Lee Tae-sung saat mereka berjalan menuju sebuah rumah
berbentuk mirip pondok. Dari apa yang Jinri tahu, ini adalah rumah keluarga
Lee, lebih tepatnya rumah keluarga Tae-sung. Jinri merasa senang sekaligus
gugup. Ia tidak menyangka setelah dua bulan berhubungan dengan Tae-sung, pria
itu ingin mengenalkannya pada kedua orang tuanya. Jinri menelan ludahnya saat
melihat Tae-sung tersenyum ke arahnya.
“Semoga Eomma
dan Appa senang melihatmu.” Tae-sung
mengacak rambut pendek Jinri. Gadis itu mengangguk dan menggumamkan hal yang
sama dalam hatinya. Semoga mereka senang melihatku.
Jantung Jinri
berdegup semakin kencang saat langkah keduanya semakin mendekati pintu rumah
Tae-sung. Pria itu menoleh padanya dan mengecup pipinya sekilas.
“Kau siap?”
Tae-sung menggenggam gagang pintu
rumahnya dan tertawa kecil melihat wajah serius Jinri.
Dan apa yang
mereka lihat berikutnya adalah hal yang sama sekali tidak mereka harapkan.
Seorang bibi dan gadis muda bercengkerama akrab pada sofa di ruang tamu. Jinri
menoleh pada Tae-sung meminta penjelasan “siapa mereka?”. Tae-sung mengalihkan pandangannya gugup. Ia
hanya mengangkat bahu dan tetap menarik Jinri mendekati kedua orang itu.
“Eomma?” panggil Tae-sung. Bibi itu menoleh dan
tersenyum pada Tae-sung, namun tidak pada Jinri. Ia terlihat tidak senang,
terlebih saat melihat tangan Jinri menggamit lengan Tae-sung.
“Siapa dia?”
Tanya Eomma Tae-sung dengan nada
menghardik. Jinri semakin mempererat pegangannya pada lengan Tae-sung.
“Dia adalah naui
yeojachingu, Eomma. Dan aku akan menikahinya bulan depan.” Jawab
Tae-sung tegas. Semua orang yang ada di ruangan itu serempak membulatkan
matanya lebar-lebar.
“Kau berani
melawan perintah Eomma, ya?” wajah
bibi itu menyiratkan kemarahan yang teramat sangat.
“Mianhaeyo, Eomma.
Tapi aku tidak bisa menikahi gadis itu.”
Tae-sung menunjuk gadis yang sedari tadi diam di samping ibu Tae-sung. “Aku
tidak mencintainya.”
“Siapa yang
mengajarimu berbuat kurang ajar seperti ini?”
Ibu Tae-sung berdiri dari duduknya. Tae-sung segera merengkuh pundak Jinri.
“Tidak ada, Eomma. Aku hanya ingin menuruti kata hatiku.”
Tae-sung melirik sekilas wajah Jinri. Pundak gadis itu bergetar ketakutan.
Jinri menengadah menatap Tae-sung. Apa yang sebenarnya terjadi disini? Batin Jinri berteriak kebingungan.
“Terserah, Eomma
tidak peduli dengan apa yang kau katakan!
Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!” Ibu Tae-sung menunjuk gadis
yang duduk disampingnya. Di sela-sela tangisan Jinri, ia bisa melihat gadis itu
menyeringai seperti serigala padanya.
***
Choi Jinri masih terduduk dalam lamunannya. Sejak
kejadian itu, ia memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Lee Tae-sung.
Sekalipun hatinya menangis kesakitan, namun ia tidak mau menjadi parasit dalam
hubungan seseorang. Cinta tak pernah
salah, hanya terkadang caranya saja yang tidak tepat, gumam Jinri pada
hatinya sendiri.
***
Lee Tae-sung berjalan tanpa arah entah kemana. Jam di
dalam boks telepon menunjukkan pukul 20.00 KST. Tae-sung memutuskan untuk
pulang, menemui ibunya dan mengatakan ia bersiap untuk menikah dengan gadis
itu. Namun entah kenapa Tae-sung mempunyai firasat jika ia akan bertemu dengan
Choi Jinri lagi mala mini. Ya, Tae-sung harus bertemu dengannya.
Ia merogoh kantung depan mantelnya dan meraih
satu-satunya uang koin yang tersisa. Tae-sung memejamkan kedua matanya. Tuhan, jika memang kami ditakdirkan untuk
bersama, maka pertemukanlah kami kembali, ratap Tae-sung dalam doanya. Ia
memasukkan koin itu pada telepon dan menekan nomor telepon Jinri yang selalu
diingatnya.
Tae-sung terus berharap semoga gadis itu mau
mengangkat teleponnya. Terdengar nada sambung. Tae-sung semakin berharap,
menyebut nama Jinri berulang-ulang kali, seakan dengan begitu Jinri akan
menjawabnya.
Dan harapan Tae-sung semakin memudar saat
panggilannya tidak segera dijawab. Namun…
“Yeoboseyo?”
Itu suara Jinri! Tae-sung menatap tak percaya pada
gagang teleponnya. Pria itu buru-buru menempelkan kembali telinganya pada
gagang telepon berwarna merah itu.
“Jinri-ya, ini aku, Tae-sung.”
“Ada apa?”
“Aku harus membicarakan hal yang sangat penting
padamu.” Tae-sung gugup melihat ia hanya mempunyai menelepon waktu satu menit
saja.
“Katakan saja.” Jawab Jinri singkat.
“Aku tidak bisa membicarakannya di telepon. Bagaimana
jika ada seseorang yang menyadap pembicaraan kita?” Tae-sung mengernyitkan
dahinya, karena mendadak Jinri tertawa.
“Jangan berpikiran konyol.”
“Aku serius! Kumohon, katakan dimana kau tinggal
sekarang?” desak Tae-sung.
“Hubungan kita sudah berakhir. Kau tidak perlu
membicarakan apapun lagi padaku.”
“Tapi ini sangat penting dan kau harus tahu ini!”
kata Tae-sung sedikit berteriak. Ia bisa mendengar napas teratur dari Jinri.
Tae-sung sangat merindukannya.
“Baiklah. Aku tinggal di flat dekat rumah sakit
Seoul. Kau akan tahu karena hanya ada satu flat di dekat sana.”
Dan Tae-sung tidak mempedulikan lagi tentang
bagaimana ia harus meletakkan gagang telepon pada keadaan semula. Ia juga tidak
peduli dengan tubuhnya yang kedinginan. Ia hanya ingin bertemu dengan Jinri
sekarang.
***
Salju turun semakin deras. Choi Jinri menuruni anak
tangga dengan harap-harap cemas. Apa Lee Tae-sung benar-benar akan datang?
Entah kenapa Jinri sangat berharap ia bisa melihat Tae-sung lagi. Ya, ia
berharap bisa melihat wajah Tae-sung yang selalu muncul di mimpinya.
Jinri menyandarkan punggungnya pada pintu masuk utama
flat. Belum ada tanda-tanda kehadiran Tae-sung sejak pria itu meneleponnya lima
belas menit yang lalu. Sebenarnya dimana
ia sekarang? Jinri sangat khawatir jika Tae-sung mengalami sesuatu dalam
perjalanan, terlebih dalam keadaan hujan salju seperti ini.
Jinri memejamkan matanya, membayangkan kemungkinan
terburuk yang bisa menimpa Tae-sung. Mungkin saja pria itu terperosok dan
tertimbun salju yang sangat tebal. Atau mungkin saja pria itu kedinginan dan
membeku di jalan. Jinri menggeleng. Tae-sung adalah lelaki yang kuat, tidak
mungkin hal seperti itu terjadi padanya.
“Annyeong
haseyo. Jinri-ya? Apa kau ada disana?” suara Tae-sung terdengar melalui
interkom yang berjarak hanya beberapa langkah dari Jinri. Ia bergegas
menghampiri dan menjawab,”Siapa itu?”
“Ini aku,
Tae-sung. Cepat buka pintunya! Kau mau melihatku mati kedinginan, ya?”
Jinri terkikik dan segera menekan kata sandi untuk
membuka pintu masuk utama. Dan matanya tak dapat berkedip melihat sosok tinggi
tegap yang berdiri dihadapannya. Tae-sung pun begitu. Ia juga tidak dapat
menahan degup jantungnya yang bekerja abnormal saat melihat makhluk indah
berdiri mematung dihadapannya.
“Kau tidak menyuruhku untuk masuk?” keluh Tae-sung.
Jinri buru-buru menyingkir dan mempersilahkan Tae-sung untuk masuk. Gadis itu
mengunci pintu masuk, berjalan mendahului Tae-sung yang masih menggigil
kedinginan. Jinri bisa melihat mantel pria itu yang basah. Dan keinginan Jinri
untuk memeluk Tae-sung semakin menjadi-jadi.
“Jadi selama ini kau tinggal disini?” Tae-sung
menggumam kecil sambil melihat-lihat interior flat bergaya minimalis itu.
“Seperti yang kau lihat.” Jinri memasukkan kunci pada
lubang pintunya dan membukanya perlahan.
“Ayo masuk.” Ajak Jinri. Tae-sung mengangguk dan
berjalan di belakang Jinri, sekalipun ia masih terlihat ragu-ragu.
Suasana di dalam kamar itu hening. Yang terdengar
hanya bunyi sendok berdenting dengan gelas kaca, nafas-nafas yang teratur, dan
detak jam dinding. Jinri menaruh gelas-gelas kaca berisi teh panas itu ke atas
nampan dan membawanya menuju ruang tamu. Disana Tae-sung masih berdiam diri,
sepertinya ada sesuatu yang laki-laki itu hendak katakan.
“Minumlah.” Kata Jinri pelan.
Bukannya meraih gelas, tangan Tae-sung justru
bergerak cepat menggenggam sebelah tangan Jinri. Gadis itu terkejut. Tae-sung
menggenggam tangan itu erat. Kerinduan yang sudah lama terpendam, kini mengalir
begitu saja.
“Apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan tanganku.”
Desis Jinri. Ia bukan tidak senang, hanya saja ini terlalu tiba-tiba baginya.
Terlebih lagi mereka sudah sebulan tidak bertemu, dan Tae-sung sudah menjadi
milik gadis lain. Jinri memberontak, mencoba menarik tangannya namun tidak
berhasil. Kedua mata Tae-sung menatap Jinri dengan pandangan tulus, dan sayu.
“Tae-sung?” panggil Jinri. Tangannya yang bebas
tergerak untuk menyentuh pipi pria itu dan mengusapnya penuh kasih sayang.
“Maafkan aku, Jinri-ya, maafkan aku.” Isak Tae-sung. Tae-sung menangis! Teriak Jinri dalam
hati. Ia menarik Tae-sung kedalam pelukannya, menepuk punggung pria itu, dan
bertanya-tanya apa yang sudah terjadi.
“Maafkan aku. Kau tahu kan aku tidak pernah berniat
untuk meninggalkanmu?” Tanya Tae-sung. Pria itu menyandarkan dagunya pada
pundak Jinri. Gadis itu mengangguk. Walaupun begitu ia masih saja menangis tiap
kali mengingat bagaimana mereka berpisah dulu. Sangat menyakitkan.
Dan cerita itu meluncur begitu saja dari mulut
Tae-sung. Tentang ibunya yang terus mendesak agar Tae-sung bergegas
melangsungkan pernikahan, tentang gadis yang bahkan Tae-sung tidak kenal yang
tiba-tiba mengajaknya berciuman, dan tentang segala macam tetek bengek
pernikahan yang membuat kepala Tae-sung ingin meledak. Juga tentang betapa
rindunya Tae-sung kepada Jinri.
“Lalu kenapa kau datang mencariku sekarang?” Tanya
Jinri. Tae-sung melepaskan diri dari pelukan Jinri dan menggenggam jari-jemari
jinri, meletakkannya pada dada bidang Tae-sung.
“Aku masih mencintaimu, Jinri-ya. Aku tidak bisa
berpisah darimu.” Jawab Tae-sung sungguh-sungguh.
“Tapi sebentar lagi kau akan menikah…”
“Itu tidak akan terjadi jika kita menikah terlebih
dahulu.” Tae-sung tersenyum lembut, mencoba untuk meyakinkan Jinri yang
terperangah.
“Kau mau melawan ibumu?”
“Aku tidak pernah melawan ibuku, Jinri-ya.” Tae-sung
mengerucutkan bibirnya. “Aku hanya ingin mewujudkan impianku.”
“Kau yakin ini akan baik-baik saja?” Tanya Jinri
ragu.
“Tentu saja. Percayalah padaku.” Tae-sung menarik
dagu Jinri dan mengecup bibirnya lembut.
Setelah malam ini, tidak ada lagi yang perlu mereka
takutkan. Karena dengan cinta, hal tidak mungkin sekalipun bisa terjadi.