Title :
Because It’s Christmas
Author : Lee Ji
Seok
Cast : 1.
Zhang Yi Xing (Lay / EXO-M)
:
2. Marry Yuan (OC)
:
3. Miki Shen (Singer)
4. Huang Zi Tao (Tao / EXO-M)
Genre : Romance
Rating : General
Length : Seris
CHAPTER
Ⅲ
Marry menyeka sisa kuah yang membasahi dagunya.
Suasana makan malam jadi canggung sejak Lay menceritakan perihal gadis yang ia cintai. Jadi, selama ini Lay sudah punya kekasih?
Marry menggeleng pelan, ia merasa tidak perlu terlalu memikirkan hal ini.
Lagipula, hubungannya dengan Lay hanyalah sebatas bos dan anak buah. Marry
mulai berpikir, apakah keputusannya bekerja dengan Lay adalah hal yang tepat
atau tidak. Ia juga tidak merasa benar-benar bekerja dengan Lay, hanya
main-main saja. Marry berdecak keras, membuat Lay terkejut.
“Ada apa?” Tanya Lay pelan.
“Tidak ada apa-apa. Kau yang membayar semua ini kan? Aku
lupa membawa dompet malam ini.” Jawab Marry ketus. Lay mengangguk dan memberikan
sejumlah uang pada pelayan, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Lay
mengajak Marry untuk berdiri. Ia mengulurkan tangannya dan tersenyum, membuat
hati Marry kembali luluh. Tidak seharusnya ia merasa kesal pada Lay. Tapi
begitu Marry mengingat jika Lay masih mencintai gadis itu, Marry segera menepis
tangan Lay dan berjalan mendahuluinya.
“Marry, tunggu!” panggil Lay.
Marry semakin cepat berjalan memunggungi Lay. Matanya
merebak. Ia sendiri juga bingung mengapa ia harus merasa sakit hati dan mengacuhkan
ajakan pria itu. Namun, Marry belum siap saja jika suatu saat gadis yang
dicintai Lay itu tiba-tiba kembali dan… Oh! Marry,
ada apa sebenarnya denganmu? jerit
Marry dalam hati.
“Marry, berhenti!” Lay menarik pergelangan tangan
Marry dan membuat gadis itu tersentak, tepat berhenti di depan Lay.
“Ada apa denganmu? Kau sakit? Kenapa kau jadi aneh
begini?” keluh Lay. Raut wajahnya terlihat khawatir. Marry menatap kedua bola
mata Lay. Bibirnya bergetar.
“Sudah kubilang, aku tidak apa-apa, Lay.” Jawab Marry
dengan menekankan pengucapan tiap kata.
“Lalu kenapa kau menghindariku?” Tanya Lay keheranan.
Ia mulai mengendurkan pegangan tangannya pada Marry.
“Pikir saja sendiri!” Marry menarik tangannya dan
menunduk. Air matanya mulai menetes, namun rambutnya yang panjang menutupi
wajahnya, membuat Lay semakin bingung saat melihat bahu Marry yang naik-turun.
“Marry? Apa ini ada hubungannya dengan ceritaku
tadi?” Tanya Lay terbata-bata. Marry mendongak, dan terkejutlah Lay saat
melihat Marry menangis.
“Menurutmu bagaimana?” desis Marry. Lay memegang
kedua pundak Marry, seolah dengan begitu bisa meyakinkan Marry jika Lay
benar-benar tidak tahu.
“Jadi, itu benar? Tapi, kenapa kau menangis?
Maksudku, apakah kau… Cemburu?” Lay menundukkan kepalanya, membuat wajahnya sejajar
dengan wajah Marry. Napas mereka mengepul menjadi asap putih. Marry menggigit
bibirnya. Kepalanya pusing. Hawa dingin semakin menusuk tulangnya, sekalipun
tubuhnya berbalut mantel yang cukup tebal.
“Sudahlah, aku ingin pulang.” Marry menyeka air matanya
yang menjadi dingin. Lay melepaskan kedua tangannya dan menatap gadis itu
sungguh-sungguh.
“Sampai jumpa.” Marry tersenyum pahit dan berjalan
menjauh, menuju sebuah halte bus. Tiba-tiba Lay ingat dengan buket bunga mawar
yang ibunya berikan sebelum ia berangkat tadi. Lay buru-buru berlari menuju
mobilnya dan mengambil buket bunga yang tergeletak di jok belakang. Ia sengaja
menyembunyikannya di sana dan berencana akan memberikannya pada Marry ketika
makan malam berlangsung. Lay tidak menyangka, makan malam yang dikiranya akan
berakhir sempurna malah berantakan seperti ini.
“Marry!” teriak Lay.
Marry berdiri dari duduknya. Halte bus itu sepi, dan
ia adalah satu-satunya penumpang bus terakhir yang akan datang beberapa menit
lagi. Lay menunjukkan buket bunga itu, membuat mata Marry terbelalak dan
menutup mulutnya. Apa artinya ini?
Kepala Marry semakin berdenyut-denyut.
“Untukmu.” Kata Lay seolah mengerti pikiran Marry.
Masih terbelalak, Marry menerima buket itu. Ia mengamati Lay dan bunga itu
bergantian.
Bus terakhir datang beberapa menit kemudian. Sang
sopir berteriak, bertanya apakah Marry akan naik atau tidak. Lay menepuk
pundaknya, membawa Marry kembali ke alam sadar.
“Pulanglah, busnya sudah datang. Hati-hati, ya,” Lay menepuk-nepuk
puncak kepalanya dengan lembut lalu tersenyum manis. Masih terbengong, Marry
melangkah masuk ke dalam bus. Karena tidak memperhatikan, kakinya terantuk
tangga bus. Melihat itu Lay menahan tawanya dan menyuruh Marry cepat-cepat
duduk. Marry mengangguk dan tersenyum malu. Bus pun mulai melaju, meninggalkan
Lay yang melambaikan tangannya dari kejauhan, makin lama berubah menjadi titik
kecil.
Marry yang memilih duduk di dekat jendela bus,
merenung dan terpekur. Apa arti bunga ini? Jika Lay memang masih mencintai
gadis itu, harusnya ia tidak memberikan bunga ini pada Marry, kan?
***
Marry mengerjapkan matanya. Hari masih amat pagi,
bahkan jalanan masih tertutup salju yang tebal. Ia melirik jam bandara yang
menunjukkan pukul lima pagi. Ia mengucek-ucek matanya yang masih berat. Mungkin
dengan minum secangkir kopi kantuknya akan menghilang.
Sekalipun hari masih pagi, tapi kesibukan di Beijing
Nanyuan Airport sudah terasa. Beberapa orang hilir mudik, baik yang mengantar
maupun menjemput keluarga mereka. Marry berdiri di depan konter drive thru sebuah kafe kecil. Di papan
nama kafe itu tertulis “Coffee’s Cup”, dengan gambar sebuah cangkir berisi kopi
yang mengepulkan asap hangat dan seekor kelinci imut. Rupanya tidak hanya dalam
papan nama saja, pelayan kafe itu mengenakan seragam imut dengan hiasan bandana
kelinci. Seorang pelayan yang kira-kira berumur sama seperti dirinya terlihat
cantik dalam seragam itu.
“Selamat datang di Coffee’s Cup. Ada yang bisa saya
bantu?” Tanya pelayan itu dengan sebuah notes kecil di tangannya. Marry
mengetuk-ngetuk bibir bawahnya sambil melihat papan daftar menu yang
tergantung.
“Saya pesan satu mocca
latte tanpa krim.” Cetus Marry. Pelayan itu mencatatnya dalam notes dan
melangkah menuju mesin penuang minuman.
“Total belanjaan 15 Yuan. Apa Anda ingin pesan yang
lain?” Tanya Si Pelayan sambil menerima sejumlah uang dari Marry.
“Tidak, terima kasih.” Kata Marry, membawa struk
belanja dan mocca latte-nya keluar
dari kafe itu. Ia cepat-cepat menyesap mocca
latte yang dibelinya tadi. Sekarang ia merasa lebih segar. Diremasnya
cangkir kertas wadah mocca latte,
kemudian ia masukkan dalam sebuah tong sampah. Marry membetulkan sarung
tangannya yang sedikit tidak pas di tangannya, dan berjalan kembali menuju
peron kedatangan.
Sedang asyik-asyiknya mengamati, tiba-tiba seorang
pria dengan wajah tertutup kaca mata dan syal tebal yang membelilit hingga
menutupi hidung datang menghampirinya. Pria itu mendorong beberapa koper dan
memakai mantel tebal. Rambutnya lurus berwarna hitam kecoklatan, dan di atasnya
terdapat topi bermotif panda.
“Excuse me, do
you know where is the location of this address?” Pria itu menyodorkan
selembar kertas berisi alamat. Mata Marry memicing saat mengetahui itu adalah
alamat rumahnya di Chaoyang. Ia menjawab dengan gugup.
“Yes, of
course. This is my house.”
“Great! Can you
take me there?”
“Sure, but I am
sorry, have we ever met before?” Marry bertambah bingung saat pria itu
tertawa di balik syal tebalnya. Ia terkejut saat pria itu membuka syal dan
kacamatanya. Dia kan…?
“Tentu saja kita pernah bertemu, nona Yuan! Kau tidak
melupakanku, kan?”
“Tao?” Marry melompat dalam pelukan hangat sahabat
masa kecilnya. Cukup lama mereka berpelukan, hingga beberapa orang di sekitar
mereka menatap dengan pandangan aneh.
“Kenapa datang terlambat? Kau bilang pesawatmu akan
datang pukul empat lebih empat puluh lima menit.” Kata Marry sambil membantu
membawa koper Tao keluar bandara. Ia senang mengawasi wajah Tao yang selalu
ceria. Kini teman kecilnya itu mengenakan sebuah tindik di telinganya. Badannya
juga lebih tinggi dari Marry, padahal dulu Marry selalu dianggap sebagai kakak
Tao karena ia lebih tinggi. Ternyata waktu bisa membawa perubahan, baik sedikit
maupun banyak, dalam diri seseorang.
“Pesawat yang kunaiki terlambat boarding. Maaf.” Kata Tao sambil tertawa melihat ekspresi kesal
Marry.
“Kalau tahu begitu untuk apa aku bangun pagi-pagi,
padahal aku bisa tidur nyenyak di rumah. Kau harus mengganti uang yang
kugunakan untuk membeli kopi tadi.” Goda Marry. Tao tertawa dan merangkul
pundak Marry.
“Tenang saja. Akan kutraktir makan malam nanti.”
“Benarkah? Maksudku, tentu kau harus mentraktirku!”
Marry mengerling jenaka pada Tao,”Tapi jangan nanti malam, ya. Aku sibuk!”
“Oh, demi Tuhan, kau hanya bercanda, kan? Kegiatan
apa yang bisa membuat sahabatku ini sibuk hingga tidak bisa makan malam
bersamaku?” Tanya Tao, berpura-pura tidak percaya.
“Aku harus bekerja, Tao. Kita bisa makan malam lain
kali. Kau akan tinggal lama di Beijing, kan?” Tanya Marry. Ia mengeluarkan
ponsel dari saku dalam mantelnya dan mengirim pesan singkat pada ayahnya untuk
segera menjemput mereka di bandara.
“Waktu pertukaran pelajarku hanya enam bulan, Marry.
Itu waktu yang singkat bagiku untuk bisa berlama-lama denganmu.” kata Tao
manja, sambil mempererat pelukannya pada Marry.
“Jangan bercanda. Siapa suruh kau kuliah jauh-jauh ke
Korea?” ejek Marry. Tawanya terhenti saat melihat sosok orang yang dikenalnya
di kejauhan. Jantungnya berdegup kencang. Apa
benar penglihatanku tadi? Marry menggeleng kecil dan kembali fokus pada
Tao.
“Kita tunggu disini saja. Papa[1]
akan datang menjemput sebentar lagi.” Kata Marry. Tao mengangguk kecil dan
memainkan topi panda miliknya. Diam-diam Marry tersenyum, sepertinya Tao tidak sepenuhnya berubah.
Marry mengecek ponselnya. Diusapnya perlahan layar
ponselnya dan ia berdecak kesal saat mengetahui ponselnya tidak bereaksi. Ia
lupa mengisi ulang baterei ponselnya. Marry takut jika ayahnya menelepon untuk
memberitahukan hal yang penting. Bagaimana jika Papa tidak bisa datang
menjemput? Kekesalannya bertambah saat ia ingat ayahnya belum membalas pesan
singkatnya, juga salju turun lagi dan memenuhi jalanan.
“Oh, lihat Marry, salju turun.” Kata Tao sambil
memakai kembali topinya, persis seperti anak kecil. Marry mengangguk. Walaupun terkadang
ia kesal karena salju selalu membuatnya kedinginan, namun ia suka karena tiap
kali melihat salju ia bisa merasakan ketenangan. Tiap melihat salju, ia selalu
bertemu dengan…
“Lay?” kata Marry tiba-tiba. Orang yang dipanggil
menoleh, dan tersenyum ramah.
“Hai, Marry. Aku tidak tahu kau ada disini.” Lay
berlari kecil dan dahinya berkerut saat melihat Tao yang berdiri disamping
Marry, masih memeluknya erat.
“Aku juga tidak tahu kau ada disini. Sedang apa?” Tanya
Marry enggan. Pikirannya masih tertuju pada peristiwa makan malam waktu itu.
“Aku akan menjemput seseorang. Kau masih ingat dengan
ceritaku tentang gadis yang kucintai? Hari ini ia akan pulang. Kau pasti tidak
percaya!”
Marry menelan ludahnya susah payah. Ia merasa sulit
bernapas dan tidak bisa mencerna kata-kata Lay barusan.
“Benarkah? Maksudku, syukurlah. Akhirnya kau bisa
bertemu lagi dengannya.” Kata Marry terbata-bata. Ia tidak sanggup melihat rona
bahagia yang tercetak jelas di wajah Lay.
“Terima kasih. Aku juga terkejut sewaktu tiba-tiba
saja kemarin ia meneleponku. Aku bahkan tidak tahu kalau ia masih ingat padaku,
setelah itu… Oh, maaf, aku harus mengangkat ponselku dulu. Permisi.” Kata Lay. Ia
menutup sebelah telinganya dan mendengarkan pada ucapan entah siapa. Sebentar
kemudian ia mengangguk dan tersenyum, memasukkan ponselnya dalam saku celana,
dan berjalan menghampiri Marry.
“Barusan dia yang meneleponku.” Kata Lay menjelaskan,
padahal Marry benar-benar tidak mau mendengarkan apapun darinya,”Aku harus
menjemputnya sekarang. Sampai jumpa.”
Lay menarik tudung jaketnya menutupi kepalanya dan
berjalan masuk ke dalam bandara. Marry terus menatap punggung Lay hingga
menghilang dari pandangan. Beberapa saat kemudian Tao mengagetkan Marry dengan
mendorong kepalanya. Marry menoleh dan mendengus kesal.
“Apa yang kau lakukan?” Marry mengentakkan pegangan
koper dari tangannya.
“Siapa dia?” Tanya Tao dengan nada angkuh.
“Bukan siapa-siapa.” Jawab Marry bohong. Tao
memanyunkan bibirnya. Ia tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya, tapi ia juga
tidak bisa memaksa terus bertanya pada Marry. Gadis itu pasti akan marah.
“Ah, itu mobil Papa. Ayo cepat, kita pulang.” Ajak Marry.
Tao menyeret sendiri kopernya dan berjalan di samping Marry, tetap memeluk
gadis itu disertai banyak pertanyaan. Kenapa wajah Marry mendadak mendung sejak
berbicara dengan pria itu? Dan, siapa sebenernya pria itu? Tao memindahkan topi
yang ia pakai ke kepala Marry. Ia tidak tega membiarkan kepala gadis itu
terkena salju. Marry mengucapkan terima kasih, dan itu membuat Tao tersenyum
lega. Namun senyum itu menghilang. Jauh dari mereka, ada seseorang yang menatap
mereka dengan pandangan tak rela.
“Marry?” desis Lay. Matanya bertatapan dengan mata
pria yang sedari tadi merangkul Marry. Ia merasa amarah menggelegak dalam
dirinya dan siap untuk meledak.
“Ada apa?” Tanya gadis yang berdiri di sebelahnya.
Lay menggeleng pelan dan berjalan berlawanan arah, sambil tetap menatap mata
pria itu.
Tao tak urung merasa bingung, mengapa laki-laki itu
tetap menatapnya? Ataukah dia melihat Marry? Kalau iya, mengapa? Tao sempat
memperhatikan muka gadis yang berjalan di sebelah pria itu. Sepertinya ia tidak
asing dengan sosoknya. Ia teringat jika mempunyai file foto gadis itu dalam
ponselnya. Buru-buru ia melepas rangkulan tangannya dan merogoh mantelnya.
“Ada apa, Tao?” Marry menatapnya dengan jengkel.
“Apa kau mengenal gadis ini?” Tanya Tao buru-buru,
sembari tetap mengawasi gadis yang berjalan disamping pria yang tadi
menghampiri Marry.
“Tentu, dia penyanyi terkenal disini. Namanya Miki
Shen. Memangnya ada apa?” Tanya Marry bingung. Tao melengos dan memasukkan
kembali ponselnya dalam mantel.
“Tidak apa-apa. Barusan aku melihatnya.” Kata Tao
ringan. Ia kembali mencari sosok Miki Shen dan pria aneh itu. Namun mereka
sudah menghilang. Sepertinya Tao tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini,
begitu juga Marry.
***
“Ada apa, sayang? Kenapa kau diam saja daritadi?” Tanya
Miki Shen sambil menyandarkan punggungnya di jok mobil Lay.
“Tidak ada apa-apa.” Jawab Lay. Ia berulang kali
bertekad untuk fokus pada jalanan didepannya, namun ia tidak bisa mengenyahkan bayangan
Marry dan lelaki yang memeluknya. Ia merasa kesal, ada apa dengan dirinya?
Lay menyalakan radio dan mengeraskan volumenya. Ia
tidak peduli dengan omelan Miki. Ocehan gadis ini justru semakin membuat pusing
kepalanya. Padahal gadis yang ia tunggu selama dua tahun lebih sudah hadir
disisinya sekarang, tetapi hal itu tidak bisa membangkitkan rasa bahagianya.
Sebenarnya ia merasa bahagia, namun itu hanya sebentar, sebelum ia melihat
Marry dipeluk pria tak dikenal itu.
Lay menambah kecepatan dan melajukan mobilnya di
tengah hujan salju yang turun lebat. Entah kenapa ia merasa takut saat
mengingat apa yang dilihatnya di bandara tadi untuk terakhir kalinya.
0 komentar:
Posting Komentar