Minggu, 06 Januari 2013

(FF) Because It's Christmas - Chapter 3


Title                       : Because It’s Christmas
Author                  : Lee Ji Seok
Cast                       : 1. Zhang Yi Xing (Lay / EXO-M)
                                : 2. Marry Yuan (OC)
                                : 3. Miki Shen (Singer)
                                  4. Huang Zi Tao (Tao / EXO-M)
Genre                   : Romance
Rating                   : General
Length                  : Seris

CHAPTER

Marry menyeka sisa kuah yang membasahi dagunya. Suasana makan malam jadi canggung sejak Lay menceritakan perihal gadis yang ia cintai. Jadi, selama ini Lay sudah punya kekasih? Marry menggeleng pelan, ia merasa tidak perlu terlalu memikirkan hal ini. Lagipula, hubungannya dengan Lay hanyalah sebatas bos dan anak buah. Marry mulai berpikir, apakah keputusannya bekerja dengan Lay adalah hal yang tepat atau tidak. Ia juga tidak merasa benar-benar bekerja dengan Lay, hanya main-main saja. Marry berdecak keras, membuat Lay terkejut.
“Ada apa?” Tanya Lay pelan.
“Tidak ada apa-apa. Kau yang membayar semua ini kan? Aku lupa membawa dompet malam ini.” Jawab Marry ketus. Lay mengangguk dan memberikan sejumlah uang pada pelayan, sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Lay mengajak Marry untuk berdiri. Ia mengulurkan tangannya dan tersenyum, membuat hati Marry kembali luluh. Tidak seharusnya ia merasa kesal pada Lay. Tapi begitu Marry mengingat jika Lay masih mencintai gadis itu, Marry segera menepis tangan Lay dan berjalan mendahuluinya.
“Marry, tunggu!” panggil Lay.
Marry semakin cepat berjalan memunggungi Lay. Matanya merebak. Ia sendiri juga bingung mengapa ia harus merasa sakit hati dan mengacuhkan ajakan pria itu. Namun, Marry belum siap saja jika suatu saat gadis yang dicintai Lay itu tiba-tiba kembali dan… Oh! Marry, ada apa sebenarnya denganmu?  jerit Marry dalam hati.
“Marry, berhenti!” Lay menarik pergelangan tangan Marry dan membuat gadis itu tersentak, tepat berhenti di depan Lay.
“Ada apa denganmu? Kau sakit? Kenapa kau jadi aneh begini?” keluh Lay. Raut wajahnya terlihat khawatir. Marry menatap kedua bola mata Lay. Bibirnya bergetar.
“Sudah kubilang, aku tidak apa-apa, Lay.” Jawab Marry dengan menekankan pengucapan tiap kata.
“Lalu kenapa kau menghindariku?” Tanya Lay keheranan. Ia mulai mengendurkan pegangan tangannya pada Marry.
“Pikir saja sendiri!” Marry menarik tangannya dan menunduk. Air matanya mulai menetes, namun rambutnya yang panjang menutupi wajahnya, membuat Lay semakin bingung saat melihat bahu Marry yang naik-turun.
“Marry? Apa ini ada hubungannya dengan ceritaku tadi?” Tanya Lay terbata-bata. Marry mendongak, dan terkejutlah Lay saat melihat Marry menangis.
“Menurutmu bagaimana?” desis Marry. Lay memegang kedua pundak Marry, seolah dengan begitu bisa meyakinkan Marry jika Lay benar-benar tidak tahu.
“Jadi, itu benar? Tapi, kenapa kau menangis? Maksudku, apakah kau… Cemburu?” Lay menundukkan kepalanya, membuat wajahnya sejajar dengan wajah Marry. Napas mereka mengepul menjadi asap putih. Marry menggigit bibirnya. Kepalanya pusing. Hawa dingin semakin menusuk tulangnya, sekalipun tubuhnya berbalut mantel yang cukup tebal.
“Sudahlah, aku ingin pulang.” Marry menyeka air matanya yang menjadi dingin. Lay melepaskan kedua tangannya dan menatap gadis itu sungguh-sungguh.
“Sampai jumpa.” Marry tersenyum pahit dan berjalan menjauh, menuju sebuah halte bus. Tiba-tiba Lay ingat dengan buket bunga mawar yang ibunya berikan sebelum ia berangkat tadi. Lay buru-buru berlari menuju mobilnya dan mengambil buket bunga yang tergeletak di jok belakang. Ia sengaja menyembunyikannya di sana dan berencana akan memberikannya pada Marry ketika makan malam berlangsung. Lay tidak menyangka, makan malam yang dikiranya akan berakhir sempurna malah berantakan seperti ini.
“Marry!” teriak Lay.
Marry berdiri dari duduknya. Halte bus itu sepi, dan ia adalah satu-satunya penumpang bus terakhir yang akan datang beberapa menit lagi. Lay menunjukkan buket bunga itu, membuat mata Marry terbelalak dan menutup mulutnya. Apa artinya ini? Kepala Marry semakin berdenyut-denyut.
“Untukmu.” Kata Lay seolah mengerti pikiran Marry. Masih terbelalak, Marry menerima buket itu. Ia mengamati Lay dan bunga itu bergantian.
Bus terakhir datang beberapa menit kemudian. Sang sopir berteriak, bertanya apakah Marry akan naik atau tidak. Lay menepuk pundaknya, membawa Marry kembali ke alam sadar.
“Pulanglah, busnya sudah datang. Hati-hati, ya,” Lay menepuk-nepuk puncak kepalanya dengan lembut lalu tersenyum manis. Masih terbengong, Marry melangkah masuk ke dalam bus. Karena tidak memperhatikan, kakinya terantuk tangga bus. Melihat itu Lay menahan tawanya dan menyuruh Marry cepat-cepat duduk. Marry mengangguk dan tersenyum malu. Bus pun mulai melaju, meninggalkan Lay yang melambaikan tangannya dari kejauhan, makin lama berubah menjadi titik kecil.
Marry yang memilih duduk di dekat jendela bus, merenung dan terpekur. Apa arti bunga ini? Jika Lay memang masih mencintai gadis itu, harusnya ia tidak memberikan bunga ini pada Marry, kan?

***

Marry mengerjapkan matanya. Hari masih amat pagi, bahkan jalanan masih tertutup salju yang tebal. Ia melirik jam bandara yang menunjukkan pukul lima pagi. Ia mengucek-ucek matanya yang masih berat. Mungkin dengan minum secangkir kopi kantuknya akan menghilang.
Sekalipun hari masih pagi, tapi kesibukan di Beijing Nanyuan Airport sudah terasa. Beberapa orang hilir mudik, baik yang mengantar maupun menjemput keluarga mereka. Marry berdiri di depan konter drive thru sebuah kafe kecil. Di papan nama kafe itu tertulis “Coffee’s Cup”, dengan gambar sebuah cangkir berisi kopi yang mengepulkan asap hangat dan seekor kelinci imut. Rupanya tidak hanya dalam papan nama saja, pelayan kafe itu mengenakan seragam imut dengan hiasan bandana kelinci. Seorang pelayan yang kira-kira berumur sama seperti dirinya terlihat cantik dalam seragam itu.
“Selamat datang di Coffee’s Cup. Ada yang bisa saya bantu?” Tanya pelayan itu dengan sebuah notes kecil di tangannya. Marry mengetuk-ngetuk bibir bawahnya sambil melihat papan daftar menu yang tergantung.
“Saya pesan satu mocca latte tanpa krim.” Cetus Marry. Pelayan itu mencatatnya dalam notes dan melangkah menuju mesin penuang minuman.
“Total belanjaan 15 Yuan. Apa Anda ingin pesan yang lain?” Tanya Si Pelayan sambil menerima sejumlah uang dari Marry.
“Tidak, terima kasih.” Kata Marry, membawa struk belanja dan mocca latte-nya keluar dari kafe itu. Ia cepat-cepat menyesap mocca latte yang dibelinya tadi. Sekarang ia merasa lebih segar. Diremasnya cangkir kertas wadah mocca latte, kemudian ia masukkan dalam sebuah tong sampah. Marry membetulkan sarung tangannya yang sedikit tidak pas di tangannya, dan berjalan kembali menuju peron kedatangan.
Sedang asyik-asyiknya mengamati, tiba-tiba seorang pria dengan wajah tertutup kaca mata dan syal tebal yang membelilit hingga menutupi hidung datang menghampirinya. Pria itu mendorong beberapa koper dan memakai mantel tebal. Rambutnya lurus berwarna hitam kecoklatan, dan di atasnya terdapat topi bermotif panda.
Excuse me, do you know where is the location of this address?” Pria itu menyodorkan selembar kertas berisi alamat. Mata Marry memicing saat mengetahui itu adalah alamat rumahnya di Chaoyang. Ia menjawab dengan gugup.
Yes, of course. This is my house.
Great! Can you take me there?
Sure, but I am sorry, have we ever met before?” Marry bertambah bingung saat pria itu tertawa di balik syal tebalnya. Ia terkejut saat pria itu membuka syal dan kacamatanya. Dia kan…?
“Tentu saja kita pernah bertemu, nona Yuan! Kau tidak melupakanku, kan?”
“Tao?” Marry melompat dalam pelukan hangat sahabat masa kecilnya. Cukup lama mereka berpelukan, hingga beberapa orang di sekitar mereka menatap dengan pandangan aneh.
“Kenapa datang terlambat? Kau bilang pesawatmu akan datang pukul empat lebih empat puluh lima menit.” Kata Marry sambil membantu membawa koper Tao keluar bandara. Ia senang mengawasi wajah Tao yang selalu ceria. Kini teman kecilnya itu mengenakan sebuah tindik di telinganya. Badannya juga lebih tinggi dari Marry, padahal dulu Marry selalu dianggap sebagai kakak Tao karena ia lebih tinggi. Ternyata waktu bisa membawa perubahan, baik sedikit maupun banyak, dalam diri seseorang.
“Pesawat yang kunaiki terlambat boarding. Maaf.” Kata Tao sambil tertawa melihat ekspresi kesal Marry.
“Kalau tahu begitu untuk apa aku bangun pagi-pagi, padahal aku bisa tidur nyenyak di rumah. Kau harus mengganti uang yang kugunakan untuk membeli kopi tadi.” Goda Marry. Tao tertawa dan merangkul pundak Marry.
“Tenang saja. Akan kutraktir makan malam nanti.”
“Benarkah? Maksudku, tentu kau harus mentraktirku!” Marry mengerling jenaka pada Tao,”Tapi jangan nanti malam, ya. Aku sibuk!”
“Oh, demi Tuhan, kau hanya bercanda, kan? Kegiatan apa yang bisa membuat sahabatku ini sibuk hingga tidak bisa makan malam bersamaku?” Tanya Tao, berpura-pura tidak percaya.
“Aku harus bekerja, Tao. Kita bisa makan malam lain kali. Kau akan tinggal lama di Beijing, kan?” Tanya Marry. Ia mengeluarkan ponsel dari saku dalam mantelnya dan mengirim pesan singkat pada ayahnya untuk segera menjemput mereka di bandara.
“Waktu pertukaran pelajarku hanya enam bulan, Marry. Itu waktu yang singkat bagiku untuk bisa berlama-lama denganmu.” kata Tao manja, sambil mempererat pelukannya pada Marry.
“Jangan bercanda. Siapa suruh kau kuliah jauh-jauh ke Korea?” ejek Marry. Tawanya terhenti saat melihat sosok orang yang dikenalnya di kejauhan. Jantungnya berdegup kencang. Apa benar penglihatanku tadi? Marry menggeleng kecil dan kembali fokus pada Tao.
“Kita tunggu disini saja. Papa[1] akan datang menjemput sebentar lagi.” Kata Marry. Tao mengangguk kecil dan memainkan topi panda miliknya. Diam-diam Marry tersenyum, sepertinya Tao tidak sepenuhnya berubah.
Marry mengecek ponselnya. Diusapnya perlahan layar ponselnya dan ia berdecak kesal saat mengetahui ponselnya tidak bereaksi. Ia lupa mengisi ulang baterei ponselnya. Marry takut jika ayahnya menelepon untuk memberitahukan hal yang penting. Bagaimana jika Papa tidak bisa datang menjemput? Kekesalannya bertambah saat ia ingat ayahnya belum membalas pesan singkatnya, juga salju turun lagi dan memenuhi jalanan.
“Oh, lihat Marry, salju turun.” Kata Tao sambil memakai kembali topinya, persis seperti anak kecil. Marry mengangguk. Walaupun terkadang ia kesal karena salju selalu membuatnya kedinginan, namun ia suka karena tiap kali melihat salju ia bisa merasakan ketenangan. Tiap melihat salju, ia selalu bertemu dengan…
“Lay?” kata Marry tiba-tiba. Orang yang dipanggil menoleh, dan tersenyum ramah.
“Hai, Marry. Aku tidak tahu kau ada disini.” Lay berlari kecil dan dahinya berkerut saat melihat Tao yang berdiri disamping Marry, masih memeluknya erat.
“Aku juga tidak tahu kau ada disini. Sedang apa?” Tanya Marry enggan. Pikirannya masih tertuju pada peristiwa makan malam waktu itu.
“Aku akan menjemput seseorang. Kau masih ingat dengan ceritaku tentang gadis yang kucintai? Hari ini ia akan pulang. Kau pasti tidak percaya!”
Marry menelan ludahnya susah payah. Ia merasa sulit bernapas dan tidak bisa mencerna kata-kata Lay barusan.
“Benarkah? Maksudku, syukurlah. Akhirnya kau bisa bertemu lagi dengannya.” Kata Marry terbata-bata. Ia tidak sanggup melihat rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Lay.
“Terima kasih. Aku juga terkejut sewaktu tiba-tiba saja kemarin ia meneleponku. Aku bahkan tidak tahu kalau ia masih ingat padaku, setelah itu… Oh, maaf, aku harus mengangkat ponselku dulu. Permisi.” Kata Lay. Ia menutup sebelah telinganya dan mendengarkan pada ucapan entah siapa. Sebentar kemudian ia mengangguk dan tersenyum, memasukkan ponselnya dalam saku celana, dan berjalan menghampiri Marry.
“Barusan dia yang meneleponku.” Kata Lay menjelaskan, padahal Marry benar-benar tidak mau mendengarkan apapun darinya,”Aku harus menjemputnya sekarang. Sampai jumpa.”
Lay menarik tudung jaketnya menutupi kepalanya dan berjalan masuk ke dalam bandara. Marry terus menatap punggung Lay hingga menghilang dari pandangan. Beberapa saat kemudian Tao mengagetkan Marry dengan mendorong kepalanya. Marry menoleh dan mendengus kesal.
“Apa yang kau lakukan?” Marry mengentakkan pegangan koper dari tangannya.
“Siapa dia?” Tanya Tao dengan nada angkuh.
“Bukan siapa-siapa.” Jawab Marry bohong. Tao memanyunkan bibirnya. Ia tahu itu bukan jawaban yang sebenarnya, tapi ia juga tidak bisa memaksa terus bertanya pada Marry. Gadis itu pasti akan marah.
“Ah, itu mobil Papa. Ayo cepat, kita pulang.” Ajak Marry. Tao menyeret sendiri kopernya dan berjalan di samping Marry, tetap memeluk gadis itu disertai banyak pertanyaan. Kenapa wajah Marry mendadak mendung sejak berbicara dengan pria itu? Dan, siapa sebenernya pria itu? Tao memindahkan topi yang ia pakai ke kepala Marry. Ia tidak tega membiarkan kepala gadis itu terkena salju. Marry mengucapkan terima kasih, dan itu membuat Tao tersenyum lega. Namun senyum itu menghilang. Jauh dari mereka, ada seseorang yang menatap mereka dengan pandangan tak rela.
“Marry?” desis Lay. Matanya bertatapan dengan mata pria yang sedari tadi merangkul Marry. Ia merasa amarah menggelegak dalam dirinya dan siap untuk meledak.
“Ada apa?” Tanya gadis yang berdiri di sebelahnya. Lay menggeleng pelan dan berjalan berlawanan arah, sambil tetap menatap mata pria itu.
Tao tak urung merasa bingung, mengapa laki-laki itu tetap menatapnya? Ataukah dia melihat Marry? Kalau iya, mengapa? Tao sempat memperhatikan muka gadis yang berjalan di sebelah pria itu. Sepertinya ia tidak asing dengan sosoknya. Ia teringat jika mempunyai file foto gadis itu dalam ponselnya. Buru-buru ia melepas rangkulan tangannya dan merogoh mantelnya.
“Ada apa, Tao?” Marry menatapnya dengan jengkel.
“Apa kau mengenal gadis ini?” Tanya Tao buru-buru, sembari tetap mengawasi gadis yang berjalan disamping pria yang tadi menghampiri Marry.
“Tentu, dia penyanyi terkenal disini. Namanya Miki Shen. Memangnya ada apa?” Tanya Marry bingung. Tao melengos dan memasukkan kembali ponselnya dalam mantel.
“Tidak apa-apa. Barusan aku melihatnya.” Kata Tao ringan. Ia kembali mencari sosok Miki Shen dan pria aneh itu. Namun mereka sudah menghilang. Sepertinya Tao tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini, begitu juga Marry.

***

“Ada apa, sayang? Kenapa kau diam saja daritadi?” Tanya Miki Shen sambil menyandarkan punggungnya di jok mobil Lay.
“Tidak ada apa-apa.” Jawab Lay. Ia berulang kali bertekad untuk fokus pada jalanan didepannya, namun ia tidak bisa mengenyahkan bayangan Marry dan lelaki yang memeluknya. Ia merasa kesal, ada apa dengan dirinya?
Lay menyalakan radio dan mengeraskan volumenya. Ia tidak peduli dengan omelan Miki. Ocehan gadis ini justru semakin membuat pusing kepalanya. Padahal gadis yang ia tunggu selama dua tahun lebih sudah hadir disisinya sekarang, tetapi hal itu tidak bisa membangkitkan rasa bahagianya. Sebenarnya ia merasa bahagia, namun itu hanya sebentar, sebelum ia melihat Marry dipeluk pria tak dikenal itu.
Lay menambah kecepatan dan melajukan mobilnya di tengah hujan salju yang turun lebat. Entah kenapa ia merasa takut saat mengingat apa yang dilihatnya di bandara tadi untuk terakhir kalinya.


[1] Ayah

To Be Continued

0 komentar:

Posting Komentar

 

Go Licious!. Design By: SkinCorner