Selasa, 19 Maret 2013

(FF) Miss You



Title                   : Miss You
Author              : Me
Cast                   : Lee Tae-sung (Actor), Choi Jinri (f(x))
Length              : Oneshoot
Genre               : Romance
Rating               : General

Author’s note    :
Ada yang kenal siapa itu Lee Tae-sung? Ya, dia adalah pemeran Bong Joon Go dalam drama “Playfull Kiss”. Selain itu Oppa satu ini juga bermain dalam drama “Rooftop Prince”, lho. ^_^ Dan dia adalah salah satu aktor favorit Author, he-he. Okay, no longer time to wait, selamat membaca~~~ (Author mohon maaf jika banyak typo bertebaran, he-he, juga minta maaf kalau ceritanya agak-agak no feel. Terima kasih sudah menyempatkan membaca ^_^)

***


Idiot, that’s not true!
You still don’t understand me?
Your love only belongs to me
Please, don’t leave me

Lee Tae-sung menekan sejumlah angka pada telepon. Ia berharap seseorang di ujung sana akan mengangkat panggilannya. Hawa dingin di luar boks telepon umum memaksa ingin masuk. Tae-sung merapatkan mantel tebalnya sembari terus berharap usahanya kali ini tidak akan sia-sia.
Yeoboseyo?” panggil seseorang.
Tae-sung seakan tak percaya saat bisa mendengar kembali suara yang amat ia rindukan selama dua minggu ini. Ya, itu suara gadisnya.
“Choi Jinri?” panggil Tae-sung. Suaranya serak menahan gejolak rindu yang meluap-luap dalam dirinya sekarang.
Ne, ini siapa?”
“Ini aku, Tae-sung.” Jawab Tae-sung lirih.
Ia bisa merasakan keheningan yang tiba-tiba datang menyergap. Tae-sung meletakkan kembali gagang telepon dengan perasaan kecewa. Pasti Jinri tidak akan mau berbicara dengannya. Tae-sung jatuh terduduk, menekuk lututnya, dan menundukkan kepala. Matanya berat menahan kantuk yang sudah datang menderanya sedari tadi.
Apa yang sedang gadis itu pikirkan? Batin Tae-sung. Ia menengadahkan kepalanya, menatap jutaan bintang yang bertabur cantik di atas langit kota Seoul. Ia teringat dengan rasi bintang Jinri. Tae-sung mengangkat sebelah tangannya ke udara dan menarik garis, menghubungkan tiap titik menjadi rasi bintang milik Jinri. Ya, rasi bintang berbentuk cinta.

***

Salju musim dingin jatuh berguguran menutupi sebagian halaman flat bertingkat tiga itu. Cat dindingnya mulai mengelupas pada beberapa sudut. Sebuah jendela di lantai dua terbuka, seakan tidak takut dengan dinginnya angin yang bertiup cukup kencang.
Choi Jinri meletakkan kantung belanjanya pada meja dapur. Ia melepas topi dan mantelnya, menggantungkannya begitu saja pada lemari. Ia berjalan menuju jendela dan menutupnya perlahan. Sial, kenapa aku bisa lupa menutupnya? Jinri mengumpat kecil sambil terus menggosokkan kedua tangannya. Hawa dingin yang menusuk sampai tulangnya membuat dia kedinginan. Ia memakai sandal dalam ruangan favoritnya, berwarna merah muda dan berbentuk kelinci.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alunan lembut Violin Double Concerto dari Johann Sebastian Bach memaksanya untuk segera menjawab panggilan itu. Jinri berlari kecil menuju meja di samping kasurnya dan melihat nama pemanggil pada layar ponselnya. Unknown caller.
Yeoboseyo?” Gadis itu mengerutkan dahinya. Ia tidak mendengar suara apapun selain hening. Ia berniat untuk mematikan ponselnya ketika…
“Choi Jinri?” panggil seseorang. Jinri mendekatkan kembali ponselnya pada telinga kanan. Gadis itu duduk di pinggir kasur mungilnya.
Ne, ini siapa?” Tanya Jinri semakin penasaran.
“Ini aku, Tae-sung.” Jawab suara itu lirih.
Dada Jinri seperti ditusuk sebuah pisau. Sakit dan perih. Ia sempat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tae-sung? Lee Tae-sung? Bibirnya terus menggumamkan nama itu tanpa suara. Kenapa pria itu muncul di saat yang amat tidak tepat? Jinri menjatuhkan ponselnya ke atas lantai yang keras, membiarkan air matanya mengalir menuruni pipi.
Di benaknya terus bergulir sebuah bayangan. Sebuah adegan menyeramkan yang baginya lebih buruk dari mimpi buruk sekalipun.

***

Flashback. Satu bulan yang lalu.

Choi Jinri menggamit erat lengan Lee Tae-sung saat mereka berjalan menuju sebuah rumah berbentuk mirip pondok. Dari apa yang Jinri tahu, ini adalah rumah keluarga Lee, lebih tepatnya rumah keluarga Tae-sung. Jinri merasa senang sekaligus gugup. Ia tidak menyangka setelah dua bulan berhubungan dengan Tae-sung, pria itu ingin mengenalkannya pada kedua orang tuanya. Jinri menelan ludahnya saat melihat Tae-sung tersenyum ke arahnya.
“Semoga Eomma dan Appa senang melihatmu.” Tae-sung mengacak rambut pendek Jinri. Gadis itu mengangguk dan menggumamkan hal yang sama dalam hatinya. Semoga mereka senang melihatku.
Jantung Jinri berdegup semakin kencang saat langkah keduanya semakin mendekati pintu rumah Tae-sung. Pria itu menoleh padanya dan mengecup pipinya sekilas.
“Kau siap?” Tae-sung menggenggam gagang pintu rumahnya dan tertawa kecil melihat wajah serius Jinri.
Dan apa yang mereka lihat berikutnya adalah hal yang sama sekali tidak mereka harapkan. Seorang bibi dan gadis muda bercengkerama akrab pada sofa di ruang tamu. Jinri menoleh pada Tae-sung meminta penjelasan “siapa mereka?”. Tae-sung mengalihkan pandangannya gugup. Ia hanya mengangkat bahu dan tetap menarik Jinri mendekati kedua orang itu.
Eomma?” panggil Tae-sung. Bibi itu menoleh dan tersenyum pada Tae-sung, namun tidak pada Jinri. Ia terlihat tidak senang, terlebih saat melihat tangan Jinri menggamit lengan Tae-sung.
“Siapa dia?” Tanya Eomma Tae-sung dengan nada menghardik. Jinri semakin mempererat pegangannya pada lengan Tae-sung.
“Dia adalah naui yeojachingu, Eomma. Dan aku akan menikahinya bulan depan.” Jawab Tae-sung tegas. Semua orang yang ada di ruangan itu serempak membulatkan matanya lebar-lebar.
“Kau berani melawan perintah Eomma, ya?” wajah bibi itu menyiratkan kemarahan yang teramat sangat.
“Mianhaeyo, Eomma. Tapi aku tidak bisa menikahi gadis itu.” Tae-sung menunjuk gadis yang sedari tadi diam di samping ibu Tae-sung. “Aku tidak mencintainya.”
“Siapa yang mengajarimu berbuat kurang ajar seperti ini?”  Ibu Tae-sung berdiri dari duduknya. Tae-sung segera merengkuh pundak Jinri.
“Tidak ada, Eomma. Aku hanya ingin menuruti kata hatiku.” Tae-sung melirik sekilas wajah Jinri. Pundak gadis itu bergetar ketakutan. Jinri menengadah menatap Tae-sung. Apa yang sebenarnya terjadi disini? Batin Jinri berteriak kebingungan.
“Terserah, Eomma tidak peduli dengan apa yang kau katakan! Apapun yang terjadi, kau harus menikah dengannya!” Ibu Tae-sung menunjuk gadis yang duduk disampingnya. Di sela-sela tangisan Jinri, ia bisa melihat gadis itu menyeringai seperti serigala padanya.

***

Choi Jinri masih terduduk dalam lamunannya. Sejak kejadian itu, ia memutuskan untuk menghilang dari kehidupan Lee Tae-sung. Sekalipun hatinya menangis kesakitan, namun ia tidak mau menjadi parasit dalam hubungan seseorang. Cinta tak pernah salah, hanya terkadang caranya saja yang tidak tepat, gumam Jinri pada hatinya sendiri.

***

Lee Tae-sung berjalan tanpa arah entah kemana. Jam di dalam boks telepon menunjukkan pukul 20.00 KST. Tae-sung memutuskan untuk pulang, menemui ibunya dan mengatakan ia bersiap untuk menikah dengan gadis itu. Namun entah kenapa Tae-sung mempunyai firasat jika ia akan bertemu dengan Choi Jinri lagi mala mini. Ya, Tae-sung harus bertemu dengannya.
Ia merogoh kantung depan mantelnya dan meraih satu-satunya uang koin yang tersisa. Tae-sung memejamkan kedua matanya. Tuhan, jika memang kami ditakdirkan untuk bersama, maka pertemukanlah kami kembali, ratap Tae-sung dalam doanya. Ia memasukkan koin itu pada telepon dan menekan nomor telepon Jinri yang selalu diingatnya.
Tae-sung terus berharap semoga gadis itu mau mengangkat teleponnya. Terdengar nada sambung. Tae-sung semakin berharap, menyebut nama Jinri berulang-ulang kali, seakan dengan begitu Jinri akan menjawabnya.
Dan harapan Tae-sung semakin memudar saat panggilannya tidak segera dijawab. Namun…
Yeoboseyo?”
Itu suara Jinri! Tae-sung menatap tak percaya pada gagang teleponnya. Pria itu buru-buru menempelkan kembali telinganya pada gagang telepon berwarna merah itu.
“Jinri-ya, ini aku, Tae-sung.”
“Ada apa?”
“Aku harus membicarakan hal yang sangat penting padamu.” Tae-sung gugup melihat ia hanya mempunyai menelepon waktu satu menit saja.
“Katakan saja.” Jawab Jinri singkat.
“Aku tidak bisa membicarakannya di telepon. Bagaimana jika ada seseorang yang menyadap pembicaraan kita?” Tae-sung mengernyitkan dahinya, karena mendadak Jinri tertawa.
“Jangan berpikiran konyol.”
“Aku serius! Kumohon, katakan dimana kau tinggal sekarang?” desak Tae-sung.
“Hubungan kita sudah berakhir. Kau tidak perlu membicarakan apapun lagi padaku.”
“Tapi ini sangat penting dan kau harus tahu ini!” kata Tae-sung sedikit berteriak. Ia bisa mendengar napas teratur dari Jinri. Tae-sung sangat merindukannya.
“Baiklah. Aku tinggal di flat dekat rumah sakit Seoul. Kau akan tahu karena hanya ada satu flat di dekat sana.”
Dan Tae-sung tidak mempedulikan lagi tentang bagaimana ia harus meletakkan gagang telepon pada keadaan semula. Ia juga tidak peduli dengan tubuhnya yang kedinginan. Ia hanya ingin bertemu dengan Jinri sekarang.

***

Salju turun semakin deras. Choi Jinri menuruni anak tangga dengan harap-harap cemas. Apa Lee Tae-sung benar-benar akan datang? Entah kenapa Jinri sangat berharap ia bisa melihat Tae-sung lagi. Ya, ia berharap bisa melihat wajah Tae-sung yang selalu muncul di mimpinya.
Jinri menyandarkan punggungnya pada pintu masuk utama flat. Belum ada tanda-tanda kehadiran Tae-sung sejak pria itu meneleponnya lima belas menit yang lalu. Sebenarnya dimana ia sekarang? Jinri sangat khawatir jika Tae-sung mengalami sesuatu dalam perjalanan, terlebih dalam keadaan hujan salju seperti ini.
Jinri memejamkan matanya, membayangkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpa Tae-sung. Mungkin saja pria itu terperosok dan tertimbun salju yang sangat tebal. Atau mungkin saja pria itu kedinginan dan membeku di jalan. Jinri menggeleng. Tae-sung adalah lelaki yang kuat, tidak mungkin hal seperti itu terjadi padanya.
Annyeong haseyo. Jinri-ya? Apa kau ada disana?” suara Tae-sung terdengar melalui interkom yang berjarak hanya beberapa langkah dari Jinri. Ia bergegas menghampiri dan menjawab,”Siapa itu?”
Ini aku, Tae-sung. Cepat buka pintunya! Kau mau melihatku mati kedinginan, ya?
Jinri terkikik dan segera menekan kata sandi untuk membuka pintu masuk utama. Dan matanya tak dapat berkedip melihat sosok tinggi tegap yang berdiri dihadapannya. Tae-sung pun begitu. Ia juga tidak dapat menahan degup jantungnya yang bekerja abnormal saat melihat makhluk indah berdiri mematung dihadapannya.
“Kau tidak menyuruhku untuk masuk?” keluh Tae-sung. Jinri buru-buru menyingkir dan mempersilahkan Tae-sung untuk masuk. Gadis itu mengunci pintu masuk, berjalan mendahului Tae-sung yang masih menggigil kedinginan. Jinri bisa melihat mantel pria itu yang basah. Dan keinginan Jinri untuk memeluk Tae-sung semakin menjadi-jadi.
“Jadi selama ini kau tinggal disini?” Tae-sung menggumam kecil sambil melihat-lihat interior flat bergaya minimalis itu.
“Seperti yang kau lihat.” Jinri memasukkan kunci pada lubang pintunya dan membukanya perlahan.
“Ayo masuk.” Ajak Jinri. Tae-sung mengangguk dan berjalan di belakang Jinri, sekalipun ia masih terlihat ragu-ragu.
Suasana di dalam kamar itu hening. Yang terdengar hanya bunyi sendok berdenting dengan gelas kaca, nafas-nafas yang teratur, dan detak jam dinding. Jinri menaruh gelas-gelas kaca berisi teh panas itu ke atas nampan dan membawanya menuju ruang tamu. Disana Tae-sung masih berdiam diri, sepertinya ada sesuatu yang laki-laki itu hendak katakan.
“Minumlah.” Kata Jinri pelan.
Bukannya meraih gelas, tangan Tae-sung justru bergerak cepat menggenggam sebelah tangan Jinri. Gadis itu terkejut. Tae-sung menggenggam tangan itu erat. Kerinduan yang sudah lama terpendam, kini mengalir begitu saja.
“Apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan tanganku.” Desis Jinri. Ia bukan tidak senang, hanya saja ini terlalu tiba-tiba baginya. Terlebih lagi mereka sudah sebulan tidak bertemu, dan Tae-sung sudah menjadi milik gadis lain. Jinri memberontak, mencoba menarik tangannya namun tidak berhasil. Kedua mata Tae-sung menatap Jinri dengan pandangan tulus, dan sayu.
“Tae-sung?” panggil Jinri. Tangannya yang bebas tergerak untuk menyentuh pipi pria itu dan mengusapnya penuh kasih sayang.
“Maafkan aku, Jinri-ya, maafkan aku.” Isak Tae-sung. Tae-sung menangis! Teriak Jinri dalam hati. Ia menarik Tae-sung kedalam pelukannya, menepuk punggung pria itu, dan bertanya-tanya apa yang sudah terjadi.
“Maafkan aku. Kau tahu kan aku tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu?” Tanya Tae-sung. Pria itu menyandarkan dagunya pada pundak Jinri. Gadis itu mengangguk. Walaupun begitu ia masih saja menangis tiap kali mengingat bagaimana mereka berpisah dulu. Sangat menyakitkan.
Dan cerita itu meluncur begitu saja dari mulut Tae-sung. Tentang ibunya yang terus mendesak agar Tae-sung bergegas melangsungkan pernikahan, tentang gadis yang bahkan Tae-sung tidak kenal yang tiba-tiba mengajaknya berciuman, dan tentang segala macam tetek bengek pernikahan yang membuat kepala Tae-sung ingin meledak. Juga tentang betapa rindunya Tae-sung kepada Jinri.
“Lalu kenapa kau datang mencariku sekarang?” Tanya Jinri. Tae-sung melepaskan diri dari pelukan Jinri dan menggenggam jari-jemari jinri, meletakkannya pada dada bidang Tae-sung.
“Aku masih mencintaimu, Jinri-ya. Aku tidak bisa berpisah darimu.” Jawab Tae-sung sungguh-sungguh.
“Tapi sebentar lagi kau akan menikah…”
“Itu tidak akan terjadi jika kita menikah terlebih dahulu.” Tae-sung tersenyum lembut, mencoba untuk meyakinkan Jinri yang terperangah.
“Kau mau melawan ibumu?”
“Aku tidak pernah melawan ibuku, Jinri-ya.” Tae-sung mengerucutkan bibirnya. “Aku hanya ingin mewujudkan impianku.”
“Kau yakin ini akan baik-baik saja?” Tanya Jinri ragu.
“Tentu saja. Percayalah padaku.” Tae-sung menarik dagu Jinri dan mengecup bibirnya lembut.
Setelah malam ini, tidak ada lagi yang perlu mereka takutkan. Karena dengan cinta, hal tidak mungkin sekalipun bisa terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Go Licious!. Design By: SkinCorner