Kamis, 03 Januari 2013

(FF) Because It's Christmas - Chapter 2

Title                       : Because It’s Christmas
Author                  : Lee Ji Seok
Cast                       : 1. Zhang Yi Xing (Lay / EXO-M)
                              : 2. Marry Yuan (OC)
                              : 3. Miki Shen (Singer)
Genre                   : Romance
Rating                   : General
Length                        : Series


CHAPTER

Lay berlari tergesa menembus lautan manusia yang berada di sekelilingnya. Entah kenapa hari ini Golden Resources Mall lebih ramai daripada biasanya. Ia takut Marry Yuan akan memarahinya karena datang terlambat hari itu. Ia melirik jam tangannya. Ia masih punya waktu lima menit dari waktu yang mereka janjikan kemarin.
Lay menyembunyikan buket mawar yang ia bawa di balik mantel cokelat yang ia pakai. Langkah kakinya semakin mantap menuju lantai tiga, tepatnya menuju arena ice skating dimana Marry pasti sudah menunggunya. Lay memilih menggunakan lift daripada eskalator. Ia malas menerobos puluhan orang yang menggunakan eskalator, karena itu berarti pakaiannya akan kusut dan ia akan menerima makian dari pengguna eskalator yang lain.
Begitu pintu lift terbuka, Lay buru-buru menyesakkan dirinya di antara himpitan celah-celah kecil gerombolan orang di depannya. Seorang nenek hampir saja terjatuh gara-gara ulahnya. Lay segera meminta maaf dan mengambil langkah panjang sebelum ia terlambat.
Ia berjalan tenang sambil merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Mata Lay berbinar-binar saat mendapati sebuah arena ice skating yang penuh dengan tawa, teriakan, dan juga raut wajah gembira dari para pengunjung. Lay merogoh sakunya, mengambil dompetnya, dan mengambil beberapa lembar uang lalu memberikannya kepada seorang gadis berpakaian a la Sinterklas, yang rupanya ia adalah penjaga pintu masuk.
Lay mengangkat ponselnya dan menelepon Marry. Dalam hati ia berharap semoga gadis itu tidak marah dan tiba-tiba memukulinya lagi. Lay sendiri sangat heran, kenapa Marry suka sekali memukul orang lain ketika ia sedang kesal? Apa ia juga melakukan itu pada orang lain? Apakah…
Ni hao.” Sapa Lay harap-harap cemas.
Ni hao.” Jawab Marry enggan. Lay memutar bola matanya saat melihat rupanya gadis itu hanya berjarak beberapa langkah dari tempat ia berdiri. Tanpa mematikan sambungan panggilan, Lay meneruskan pembicaraan dan berjalan mendekati Marry yang masih menekan ponselnya di telinga.
“Kau sudah sampai?” Tanya Lay, berhenti tepat di belakang Marry.
“Tentu saja. Kau dimana? Jangan bilang kali ini kau sengaja datang terlambat untuk balas dendam padaku, Tuan Zhang. Dan ada satu hal yang membuatku bingung. Bukankah kau mengajakku untuk pergi makan malam? Tapi kenapa kau…”
“Dasar cerewet.” Ejek Lay. Secara dramatis ia berputar dan kini berdiri berhadapan dengan Marry yang tiba-tiba bungkam. Deg. Jantung Lay terasa aneh. Organ itu berdetak secara abnormal, lebih cepat daripada biasanya. Lay menatap gadis sempurna yang ada di hadapannya itu. Benar-benar cantik, seperti malaikat.
“Kapan kau datang?” bentak Marry. Lamunan Lay terhenti seketika.
“Baru saja. Kenapa marah-marah? Kau tidak suka jika kuajak kemari?” Tanya Lay. Marry menggembungkan pipinya.
“Kau tahu?” Marry mendekati Lay dan berbisik pelan,”Aku sengaja tidak makan siang karena mengira aku bisa makan gratis sepuasnya malam ini.”
Marry menjauh beberapa langkah, mengalihkan pandangannya karena malu melihat Lay yang menahan tawanya. Pria itu tersenyum dan merengkuh pundak Marry, mengajaknya berjalan menuju konter peminjaman sepatu skate.
Well, entah kenapa pikiranku berubah waktu melihat tempat skating ini. Kelihatannya luar biasa. Maaf kalau kau tidak suka.” Lay menatap Marry. Gadis itu masih mengalihkan pandangannya.
“Omong kosong, aku sangat suka tempat ini, Lay. Tapi, kita kan bisa melakukan skating di tempat lain. Sekarang kan musim dingin, pasti banyak danau yang membeku. Jika kita bisa melakukannya secara gratis, kenapa kita harus melakukannya disini?” Marry melirik Lay yang terdiam, berusaha mencerna perkataan gadis ini. Benar juga, kenapa tak terpikirkan olehku? Batin Lay.
“Baiklah, kalau begitu kita pulang saja.” Ucap Lay. Marry menangkap segurat senyum sedih di wajah pria itu. Oh, tidak, apakah dia terluka?
“Jangan!”
Marry menggenggam erat pergelangan tangan Lay. Pria itu menatap setengah tak percaya pada Marry. Apa yang ia lakukan?
“Bagaimana kalau kita coba saja dulu?” ajak Marry. Lay terlihat memikirkan sesuatu, sampai akhirnya dia tersenyum dan mengangguk.

***

“Ini luar biasa!” pekik Marry.
Gadis itu melakukan lompatan kecil di atas permukaan es dan berputar-putar layaknya seorang balerina profesional. Ia melakukannya selama beberapa menit, dan berhenti saat menyadari ia kehilangan Lay.
“Marry! Tunggu aku!” teriak Lay dari kejauhan.
Marry tertawa terpingkal-pingkal melihat bosnya berulang kali terjatuh saat mencoba untuk berdiri. Sepertinya Lay belum pernah mencoba skating sebelumnya. Marry meluncur pelan dan menghampiri Lay yang jatuh tersungkur.
“Tega sekali kau meninggalkanku.” Keluh Lay.
“Aku kira kau sangat mahir dalam skating.” Ejek Marry. Ia menggenggam tangan Lay dan menariknya berdiri. Lay bergidik ngeri, ia mempertahankan keseimbangannya mati-matian.
“Aku pernah bermain skating, tapi itu dulu sewaktu aku masih berusia lima tahun. Dan setelah itu, aku tidak mau bermain skating lagi. Selamanya.” Lay mengikuti Marry yang menariknya menuju bangku panjang di pinggir arena skating.
“Lalu kenapa kau mengajakku kesini sekarang? Bukankah lebih enak kalau kita makan malam saja?” Marry duduk di bangku itu, diikuti Lay yang duduk di sampingnya. Lay melepas sepatu skating dan meletakkannya di bangku, sementara Marry membayangkan restoran apa yang akan dipilih Lay jika seandainya pria itu benar-benar mengajaknya makan malam.
“Kita datang kemari untuk bekerja, bodoh.” Lay mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, dan memotret Marry yang menoleh padanya dengan ekspresi terkejut.
“Bekerja? Tanpa make up? Apa kau serius?”
“Tentu. Kembalilah meluncur dan aku akan memotretmu dari sini.” Lay mendorong Marry dan gadis itu jatuh terduduk di atas permukaan es yang dingin.
“Aku tidak mau!” protes Marry.
“Baiklah, kalau begitu tidak akan ada makan malam gratis.” Lay memutar lensa kameranya dan mulai membidik sasaran.
“Ah, tentu saja aku mau! Aku sangat suka skating!” teriak Marry bersemangat, atau mungkin lebih tepatnya ia terpaksa terlihat bersemangat. Gadis itu kembali meluncur di atas es, kemudian gadis itu bertemu dengan seorang anak laki-laki kecil dan mengajaknya berdansa. Lay tersenyum puas, hatinya diliputi perasaan hangat tiap kali berhasil memotret Marry dari sudut yang bagus.
Gadis itu benar-benar menarik.
Lay terhenti dari aktivitasnya. Apa yang barusan ia pikirkan? Lay tersenyum kecut dan membantah sendiri pikirannya. Ia merasa begitu karena Marry bisa berekspresi secara natural. Ya, pasti itulah alasannya. Lay kembali mengangkat kameranya dan membidik Marry.
Lay sendiri tidak tahu kenapa malam itu senyum Marry tampak sangat menawan.

***

Marry memegangi perutnya yang keroncongan. Ia melihat jam pada layar ponselnya. Sekarang sudah waktunya makan malam. Ia sangat letih bermain skating, walaupun itu tadi menyenangkan. Kakinya terasa lelah, matanya mengantuk, dan perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Sepertinya sudah tiga kali perutnya berbunyi, dan itu membuat mata Lay meliriknya dengan tatapan geli.
“Ada apa?” Tanya Lay, tetap fokus pada jalanan di depannya.
“Perutku lapar.” Jawab Marry kesal. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok mobil Lay yang nyaman, membuat Marry semakin ingin tidur.
“Bersabarlah. Sebentar lagi kita sampai.”
Beberapa saat kemudian Lay menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran khas China. Marry yang amat lelah mengabaikan tulisan Pinyin yang tergantung pada papan nama restoran itu, ia membawa tas tangannya dan berjalan keluar mengikuti langkah Lay. Tiba-tiba ia terkesiap, tatkala Lay menelusupkan tangannya dan menggandeng lengan Marry. Kantuknya seperti menghilang. Apakah ini kencan makan malam? Marry menggeleng kuat-kuat, dan mencoba menyesuaikan diri dengan langkah Lay yang mantap.
Mereka memilih sebuah kursi untuk dua orang yang menghadap pada jalanan kota Beijing. Salju turun perlahan dan menutupi jalanan dengan nuansa putih. Para pejalan kaki menutup erat-erat tubuhnya dengan mantel dan berjalan cepat-cepat untuk menghalau hawa dingin. Marry melayangkan pandangannya pada bagian dalam restoran itu. Interiornya khas China, lengkap dengan pot-pot berisi bambu di tiap sudut ruangan. Matanya terhenti pada sosok pria yang duduk di hadapannya, sedang serius membolak-balik buku menu.
“Oh, entahlah Marry, aku benar-benar bingung harus memilih apa.” Lay mengangsurkan buku menu itu pada Marry. Dahi Marry berkerut.
“Bagaimana kalau Chi Jung Su Mi Keng[1] saja?” Usul Marry. Seorang pelayan dengan sigap mencatat pesanan tanpa mempedulikan reaksi Lay.
“Dan jus jeruk untuk minumannya. Xie xie[2].” Kata Marry ramah pada pelayan yang berjalan menuju dapur. Restoran itu cukup sepi. Hanya ada dua pengunjung lain selain Marry dan Lay.
“Aku tidak tahu kau suka masakan tradisional China.” Komentar Lay. Pria itu meneguk perlahan air mineral yang disediakan gratis di setiap meja.
Well, aku juga belum pernah mencoba masakan tradisional China sebelumnya, semoga saja ini enak.” Marry menatap Lay. Entah perasaan aneh apa yang melintas dipikirannya saat itu. Lay terlihat merenung. Matanya menatap kosong pada gelas yang ia pegang. Suasana hening yang tidak mengenakkan mengisi ruangan itu.
“Dulu aku pernah datang kesini bersama seseorang.” Kata Lay tiba-tiba. Marry mendongak dan menatap wajah Lay yang sendu.
“Dia adalah orang yang kucintai. Sangat kucintai, lebih tepatnya.”
“Siapa dia?” Tanya Marry.
“Entahlah. Aku merasa tidak perlu memberitahunya padamu. Aku membawanya kemari, dan kami juga duduk di meja ini. Dia duduk di kursi yang kau duduki.” Lay melirik Marry sebentar, dan larut kembali dalam dunianya.
Marry bingung harus berkomentar seperti apa. Ia merasa hatinya tertohok dan itu amat sakit. Ia tersenyum samar.
“Apa yang terjadi selanjutnya?” Tanya Marry.
“Dia menghilang dan tidak pernah kembali lagi padaku. Aku sendiri juga tidak tahu dimana ia sekarang.” Lay meneguk kembali sisa air dalam gelasnya dan meletakkannya di meja. Ia tersenyum menatap Marry yang membeku.
“Apa kau masih mencintainya sekarang?” Marry merasa matanya panas dan kabur oleh air mata. Tenggorokannya tercekat.
Lay tampak menimbang-nimbang sesuatu. Matanya menerawang pada langit-langit atap restoran. Bibirnya bergerak-gerak, seperti ingin mengucapkan sesuatu namun ia terlalu ragu.
Well, sepertinya begitu, Marry. Aku masih sangat mencintainya.”
Marry tertawa beberapa detik kemudian. Amat keras hingga membuat pengunjung lain menoleh dan berbisik-bisik membicarakan tingkahnya yang mencurigakan. Lay menatapnya kebingungan. Jika Lay bertanya ada apa, Marry sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia merasa, tertawa adalah hal paling tepat yang bisa ia lakukan saat ini, daripada membiarkan kata-kata Lay barusan menyakiti syaraf dan hatinya.

***

To be continued


[1] Sup ayam jagung
[2] Terima kasih

0 komentar:

Posting Komentar

 

Go Licious!. Design By: SkinCorner