Author : Lee Ji
Seok
Cast : 1.
Zhang Yi Xing (Lay / EXO-M)
:
2. Marry Yuan (OC)
:
3. Miki Shen (Singer)
Genre : Romance
Rating : General
Length :
Series
CHAPTER
Ⅱ
Lay berlari tergesa menembus lautan manusia yang
berada di sekelilingnya. Entah kenapa hari ini Golden Resources Mall lebih
ramai daripada biasanya. Ia takut Marry Yuan akan memarahinya karena datang
terlambat hari itu. Ia melirik jam tangannya. Ia masih punya waktu lima menit
dari waktu yang mereka janjikan kemarin.
Lay menyembunyikan buket mawar yang ia bawa di balik
mantel cokelat yang ia pakai. Langkah kakinya semakin mantap menuju lantai
tiga, tepatnya menuju arena ice skating dimana Marry pasti sudah menunggunya.
Lay memilih menggunakan lift daripada eskalator. Ia malas menerobos puluhan
orang yang menggunakan eskalator, karena itu berarti pakaiannya akan kusut dan
ia akan menerima makian dari pengguna eskalator yang lain.
Begitu pintu lift terbuka, Lay buru-buru menyesakkan
dirinya di antara himpitan celah-celah kecil gerombolan orang di depannya.
Seorang nenek hampir saja terjatuh gara-gara ulahnya. Lay segera meminta maaf
dan mengambil langkah panjang sebelum ia terlambat.
Ia berjalan tenang sambil merapikan pakaiannya yang
sedikit kusut. Mata Lay berbinar-binar saat mendapati sebuah arena ice skating yang penuh dengan tawa,
teriakan, dan juga raut wajah gembira dari para pengunjung. Lay merogoh
sakunya, mengambil dompetnya, dan mengambil beberapa lembar uang lalu
memberikannya kepada seorang gadis berpakaian a la Sinterklas, yang rupanya ia
adalah penjaga pintu masuk.
Lay mengangkat ponselnya dan menelepon Marry. Dalam
hati ia berharap semoga gadis itu tidak marah dan tiba-tiba memukulinya lagi.
Lay sendiri sangat heran, kenapa Marry suka sekali memukul orang lain ketika ia
sedang kesal? Apa ia juga melakukan itu pada orang lain? Apakah…
“Ni hao.”
Sapa Lay harap-harap cemas.
“Ni hao.”
Jawab Marry enggan. Lay memutar bola matanya saat melihat rupanya gadis itu
hanya berjarak beberapa langkah dari tempat ia berdiri. Tanpa mematikan
sambungan panggilan, Lay meneruskan pembicaraan dan berjalan mendekati Marry
yang masih menekan ponselnya di telinga.
“Kau sudah sampai?” Tanya Lay, berhenti tepat di
belakang Marry.
“Tentu saja. Kau dimana? Jangan bilang kali ini kau
sengaja datang terlambat untuk balas dendam padaku, Tuan Zhang. Dan ada satu
hal yang membuatku bingung. Bukankah kau mengajakku untuk pergi makan malam?
Tapi kenapa kau…”
“Dasar cerewet.” Ejek Lay. Secara dramatis ia
berputar dan kini berdiri berhadapan dengan Marry yang tiba-tiba bungkam. Deg. Jantung
Lay terasa aneh. Organ itu berdetak secara abnormal, lebih cepat daripada
biasanya. Lay menatap gadis sempurna yang ada di hadapannya itu. Benar-benar
cantik, seperti malaikat.
“Kapan kau datang?” bentak Marry. Lamunan Lay
terhenti seketika.
“Baru saja. Kenapa marah-marah? Kau tidak suka jika
kuajak kemari?” Tanya Lay. Marry menggembungkan pipinya.
“Kau tahu?” Marry mendekati Lay dan berbisik pelan,”Aku
sengaja tidak makan siang karena mengira aku bisa makan gratis sepuasnya malam
ini.”
Marry menjauh beberapa langkah, mengalihkan
pandangannya karena malu melihat Lay yang menahan tawanya. Pria itu tersenyum
dan merengkuh pundak Marry, mengajaknya berjalan menuju konter peminjaman
sepatu skate.
“Well,
entah kenapa pikiranku berubah waktu melihat tempat skating ini. Kelihatannya luar
biasa. Maaf kalau kau tidak suka.” Lay menatap Marry. Gadis itu masih
mengalihkan pandangannya.
“Omong kosong, aku sangat suka tempat ini, Lay. Tapi,
kita kan bisa melakukan skating di tempat lain. Sekarang kan musim dingin,
pasti banyak danau yang membeku. Jika kita bisa melakukannya secara gratis,
kenapa kita harus melakukannya disini?” Marry melirik Lay yang terdiam,
berusaha mencerna perkataan gadis ini. Benar
juga, kenapa tak terpikirkan olehku? Batin Lay.
“Baiklah, kalau begitu kita pulang saja.” Ucap Lay. Marry
menangkap segurat senyum sedih di wajah pria itu. Oh, tidak, apakah dia
terluka?
“Jangan!”
Marry menggenggam erat pergelangan tangan Lay. Pria itu
menatap setengah tak percaya pada Marry. Apa yang ia lakukan?
“Bagaimana kalau kita coba saja dulu?” ajak Marry. Lay
terlihat memikirkan sesuatu, sampai akhirnya dia tersenyum dan mengangguk.
***
“Ini luar biasa!” pekik Marry.
Gadis itu melakukan lompatan kecil di atas permukaan
es dan berputar-putar layaknya seorang balerina profesional. Ia melakukannya
selama beberapa menit, dan berhenti saat menyadari ia kehilangan Lay.
“Marry! Tunggu aku!” teriak Lay dari kejauhan.
Marry tertawa terpingkal-pingkal melihat bosnya
berulang kali terjatuh saat mencoba untuk berdiri. Sepertinya Lay belum pernah
mencoba skating sebelumnya. Marry meluncur pelan dan menghampiri Lay yang jatuh
tersungkur.
“Tega sekali kau meninggalkanku.” Keluh Lay.
“Aku kira kau sangat mahir dalam skating.” Ejek Marry.
Ia menggenggam tangan Lay dan menariknya berdiri. Lay bergidik ngeri, ia
mempertahankan keseimbangannya mati-matian.
“Aku pernah bermain skating, tapi itu dulu sewaktu
aku masih berusia lima tahun. Dan setelah itu, aku tidak mau bermain skating
lagi. Selamanya.” Lay mengikuti Marry yang menariknya menuju bangku panjang di
pinggir arena skating.
“Lalu kenapa kau mengajakku kesini sekarang? Bukankah
lebih enak kalau kita makan malam saja?” Marry duduk di bangku itu, diikuti Lay
yang duduk di sampingnya. Lay melepas sepatu skating dan meletakkannya di
bangku, sementara Marry membayangkan restoran apa yang akan dipilih Lay jika
seandainya pria itu benar-benar mengajaknya makan malam.
“Kita datang kemari untuk bekerja, bodoh.” Lay
mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, dan memotret Marry yang menoleh padanya
dengan ekspresi terkejut.
“Bekerja? Tanpa make
up? Apa kau serius?”
“Tentu. Kembalilah meluncur dan aku akan memotretmu
dari sini.” Lay mendorong Marry dan gadis itu jatuh terduduk di atas permukaan
es yang dingin.
“Aku tidak mau!” protes Marry.
“Baiklah, kalau begitu tidak akan ada makan malam
gratis.” Lay memutar lensa kameranya dan mulai membidik sasaran.
“Ah, tentu saja aku mau! Aku sangat suka skating!”
teriak Marry bersemangat, atau mungkin lebih tepatnya ia terpaksa terlihat
bersemangat. Gadis itu kembali meluncur di atas es, kemudian gadis itu bertemu
dengan seorang anak laki-laki kecil dan mengajaknya berdansa. Lay tersenyum
puas, hatinya diliputi perasaan hangat tiap kali berhasil memotret Marry dari
sudut yang bagus.
Gadis itu
benar-benar menarik.
Lay terhenti dari aktivitasnya. Apa yang barusan ia
pikirkan? Lay tersenyum kecut dan membantah sendiri pikirannya. Ia merasa
begitu karena Marry bisa berekspresi secara natural. Ya, pasti itulah
alasannya. Lay kembali mengangkat kameranya dan membidik Marry.
Lay sendiri tidak tahu kenapa malam itu senyum Marry
tampak sangat menawan.
***
Marry memegangi perutnya yang keroncongan. Ia melihat
jam pada layar ponselnya. Sekarang sudah waktunya makan malam. Ia sangat letih
bermain skating, walaupun itu tadi menyenangkan. Kakinya terasa lelah, matanya
mengantuk, dan perutnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Sepertinya sudah
tiga kali perutnya berbunyi, dan itu membuat mata Lay meliriknya dengan tatapan
geli.
“Ada apa?” Tanya Lay, tetap fokus pada jalanan di
depannya.
“Perutku lapar.” Jawab Marry kesal. Ia menyandarkan
tubuhnya pada jok mobil Lay yang nyaman, membuat Marry semakin ingin tidur.
“Bersabarlah. Sebentar lagi kita sampai.”
Beberapa saat kemudian Lay menghentikan mobilnya di
depan sebuah restoran khas China. Marry yang amat lelah mengabaikan tulisan
Pinyin yang tergantung pada papan nama restoran itu, ia membawa tas tangannya
dan berjalan keluar mengikuti langkah Lay. Tiba-tiba ia terkesiap, tatkala Lay
menelusupkan tangannya dan menggandeng lengan Marry. Kantuknya seperti
menghilang. Apakah ini kencan makan
malam? Marry menggeleng kuat-kuat, dan mencoba menyesuaikan diri dengan
langkah Lay yang mantap.
Mereka memilih sebuah kursi untuk dua orang yang
menghadap pada jalanan kota Beijing. Salju turun perlahan dan menutupi jalanan
dengan nuansa putih. Para pejalan kaki menutup erat-erat tubuhnya dengan mantel
dan berjalan cepat-cepat untuk menghalau hawa dingin. Marry melayangkan
pandangannya pada bagian dalam restoran itu. Interiornya khas China, lengkap
dengan pot-pot berisi bambu di tiap sudut ruangan. Matanya terhenti pada sosok
pria yang duduk di hadapannya, sedang serius membolak-balik buku menu.
“Oh, entahlah Marry, aku benar-benar bingung harus
memilih apa.” Lay mengangsurkan buku menu itu pada Marry. Dahi Marry berkerut.
“Bagaimana kalau Chi Jung Su Mi Keng[1]
saja?” Usul Marry. Seorang pelayan dengan sigap mencatat pesanan tanpa
mempedulikan reaksi Lay.
“Dan jus jeruk untuk minumannya. Xie xie[2].”
Kata Marry ramah pada pelayan yang berjalan menuju dapur. Restoran itu cukup
sepi. Hanya ada dua pengunjung lain selain Marry dan Lay.
“Aku tidak tahu kau suka masakan tradisional China.” Komentar
Lay. Pria itu meneguk perlahan air mineral yang disediakan gratis di setiap
meja.
“Well, aku
juga belum pernah mencoba masakan tradisional China sebelumnya, semoga saja ini
enak.” Marry menatap Lay. Entah perasaan aneh apa yang melintas dipikirannya
saat itu. Lay terlihat merenung. Matanya menatap kosong pada gelas yang ia
pegang. Suasana hening yang tidak mengenakkan mengisi ruangan itu.
“Dulu aku pernah datang kesini bersama seseorang.” Kata
Lay tiba-tiba. Marry mendongak dan menatap wajah Lay yang sendu.
“Dia adalah orang yang kucintai. Sangat kucintai,
lebih tepatnya.”
“Siapa dia?” Tanya Marry.
“Entahlah. Aku merasa tidak perlu memberitahunya
padamu. Aku membawanya kemari, dan kami juga duduk di meja ini. Dia duduk di
kursi yang kau duduki.” Lay melirik Marry sebentar, dan larut kembali dalam
dunianya.
Marry bingung harus berkomentar seperti apa. Ia merasa
hatinya tertohok dan itu amat sakit. Ia tersenyum samar.
“Apa yang terjadi selanjutnya?” Tanya Marry.
“Dia menghilang dan tidak pernah kembali lagi padaku.
Aku sendiri juga tidak tahu dimana ia sekarang.” Lay meneguk kembali sisa air
dalam gelasnya dan meletakkannya di meja. Ia tersenyum menatap Marry yang
membeku.
“Apa kau masih mencintainya sekarang?” Marry merasa
matanya panas dan kabur oleh air mata. Tenggorokannya tercekat.
Lay tampak menimbang-nimbang sesuatu. Matanya menerawang
pada langit-langit atap restoran. Bibirnya bergerak-gerak, seperti ingin
mengucapkan sesuatu namun ia terlalu ragu.
“Well, sepertinya
begitu, Marry. Aku masih sangat mencintainya.”
Marry tertawa beberapa detik kemudian. Amat keras
hingga membuat pengunjung lain menoleh dan berbisik-bisik membicarakan
tingkahnya yang mencurigakan. Lay menatapnya kebingungan. Jika Lay bertanya ada
apa, Marry sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia merasa, tertawa
adalah hal paling tepat yang bisa ia lakukan saat ini, daripada membiarkan kata-kata
Lay barusan menyakiti syaraf dan hatinya.
***
To be continued
0 komentar:
Posting Komentar